Ternyata Ibuku Berbohong!!!

ardios | 8:09:00 PM |
Kisah ini diceritakan oleh seorang anak yang berkali-kali mendapati ibunya berbohong kepadanya. Tetapi justru terdapat makna yang amat berharga dari kisah 8 kebohongan ibu ini. Mari kita simak dan renungkan bersama:

***

Cerita bermula ketika aku masih kecil, aku terlahir sebagai seorang anak laki-laki di sebuah keluarga yang miskin. Bahkan untuk makan saja seringkali kekurangan. Ketika makan, ibu sering memberikan porsi nasinya untukku. Sambil memindahkan nasi ke mangkukku, ibu berkata, “Makanlah nak, ibu masih kenyang” itulah kebohongan ibu yang pertama.

Ketika aku mulai tumbuh dewasa, ibu yang gigih sering meluangkan waktu senggangnya untuk pergi memancing di sungai dekat rumah. Ibu berharap dari ikan hasil pancingan, ia bisa memberikan sedikit makanan bergizi untuk petumbuhanku. Sepulang memancing, ibu memasak sup ikan yang segar dan mengundang selera. Sewaktu aku memakan sup ikan itu, ibu duduk di sampingku dan memakan sisa daging ikan yang masih menempel di tulang yang merupakan bekas sisa tulang ikan yang aku makan. Melihat ibu seperti itu, hatiku tersentuh. Lalu aku menggunakan sumpitku dan memberikannya kepada ibuku. Tetapi ibu dengan cepat menolaknya, ia berkata, “Makanlah nak, ibu tidak suka makan ikan”. Dan inilah kebohongan ibu yang kedua.

Sekarang aku sudah masuk SMP, demi membiayai sekolah abang dan kakakku, ibu pergi ke koperasi untuk membawa sejumlah kotak korek api untuk ditempel, dan hasil tempelannya itu membuahkan sedikit uang untuk menutupi kebutuhan hidup. Di kala musim dingin tiba, aku bangun dari tempat tidurku, melihat ibu masih bertumpu pada lilin kecil dan dengan gigihnya melanjutkan pekerjaannya menempel kotak korek api. Aku berkata, “Ibu, tidurlah, sudah malam. Besok pagi ibu masih harus kerja.” Ibu tersenyum dan berkata, “Kamu tidurlah duluan, ibu belum mengantuk”. Aku sadar bahwa ini kebohongan ibu yang ketiga.

Ketika ujian tiba, ibu meminta cuti kerja supaya dapat menemaniku pergi ujian. Hari sudah siang, terik matahari mulai menyinari, ibu yang tegar dan gigih menunggu aku di bawah terik matahari selama beberapa jam. Ketika bunyi lonceng berbunyi menandakan ujian sudah selesai, ibu dengan segera menyambutku dan menuangkan teh yang sudah disiapkan dalam botol yang dingin untukku. Teh yang begitu kental tidak dapat dibandingkan dengan kasihnya yang jauh lebih kental. Melihat ibu yang dibanjiri peluh, aku segera memberikan gelasku untuk ibu sambil menyuruhnya minum. Ibu berkata, “Minumlah nak, ibu tidak haus”. Dan ini adalah kebohongan ibu yang keempat.

Setelah kepergian ayah karena sakit, ibu yang malang harus merangkap peran sebagai kepala keluarga. Dengan berpegang pada pekerjaannya yang dulu, ibu harus membiayai kebutuhan hidup kami sendirian. Kehidupan keluarga kami pun semakin sulit. Melihat kondisi keluarga yang semakin parah, seorang paman baik hati yang tinggal di dekat rumah membantu ibuku baik masalah besar maupun masalah kecil. Tetangga yang ada di sebelah rumah melihat kehidupan kita yang begitu sengsara, seringkali menasehati ibuku untuk menikah lagi. Tetapi ibu yang memang keras kepala tidak mengindahkan nasehat mereka, ibu hanya berkata, “Ibu lebih senang hidup sendiri bersamamu”. Itulah kebohongan ibu yang kelima.

Setelah aku lulus sekolah dan bekerja, ibu yang semakin tua sudah waktunya pensiun. Tetapi ibu tidak mau, ia rela pergi ke pasar setiap pagi untuk berjualan sedikit sayur untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kakakku dan abangku yang bekerja di luar kota sering mengirimkan sedikit uang untuk membantu memenuhi kebutuhan ibu, tetapi ibu bersikukuh tidak mau menerima uang tersebut. Malahan ia mengirim balik uang tersebut. Iya hanya berkata, “Ibu masih punya uang”. Ini adalah kebohongan ibu yang keenam.

Setelah lulus dari S1, aku pun melanjutkan studi ke S2 dan kemudian memperoleh gelar master di sebuah universitas ternama di Amerika berkat beasiswa dari sebuah perusahaan. Akhirnya aku pun bekerja di perusahaan itu. Dengan gaji yang lumayan tinggi, aku bermaksud membawa ibuku untuk menikmati hidup di Amerika. Tetapi ibu yang baik hati, bermaksud tidak mau merepotkan anaknya. Ia berkata kepadaku, “Ibu lebih suka tinggal di sini”. Itu adalah kebohongan ibu yang ketujuh.

Setelah memasuki usianya yang tua, ibu terkena penyakit kanker, ia harus dirawat di rumah sakit. Aku yang berada jauh di lain benua langsung segera pulang untuk menjenguknya. Aku melihat ibu yang terbaring lemah di ranjangnya setelah menjalani operasi. Ibu yang keliatan sangat tua, menatap aku dengan penuh kerinduan. Walaupun senyum yang tersebar di wajahnya terkesan agak kaku karena sakit yang ditahannya. Terlihat dengan jelas betapa penyakit itu menjamahi tubuh ibuku sehingga ibuku terlihat lemah dan kurus kering. Aku hanya bisa menatap ibuku dengan berlinang air mata, hatiku perih. Sakit sekali melihat ibuku dalam kondisi seperti ini. Tetapi ibu dengan tegarnya berkata, “Jangan menangis anakku, ibu tidak kesakitan” dan inilah kebohongan ibu yang kedelapan.

***

“Ibumu, Ibumu, Ibumu, lalu ayahmu”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Semoga cerita di atas bisa membuat kita merenung sejenak. Ada alasan mulia yang menjadi sebab kebohongan seorang ibu. Benarlah bahwa cinta kasih ibu pada anaknya melebihi cinta seorang ibu pada dirinya sendiri. Tidak ada alasan untuk kita menunda-nunda dalam berbakti padanya. Dan tidak ada lagi waktu untuk menunda mengatakan, “Aku mencintaimu, Bunda…”

SFJ

Source: lihat.co.id




Comments
0 Comments

No comments: